tepat dibawah BPK 0i klaten: 2011 BPK 0i klaten: 2011

Jumat, 09 September 2011

######  ##  #  #   ###    ###  ###          #######    ###    ####       #####  
   ##    ##  #  #   ###     ###  #            ##  ##    ###     ##       ##   #  
   ##    ## ### #   # ##    # ## #            ##   #    # ##    ##       ###     
   ##    ## ### #  #  ##    # ## #            ####     #  ##    ##        ####   
   ##    ## ### # #######   #  ###            ##      #######   ##   #      ###  
   ##     ## ###  #    ##   #   ##            ##      #    ##   ##  ##   #   ##  
 ######   ##  ##  ##   ### ###   ##          ####     ##   ### #######   ##### 
=============================================================
=====================================    ==========  ========
====================================  ==  =========  ========
====================================  =============  ========
=  ==  =   =  ===   ===  = ========    ======   ===  ===   ==
=====  =   =  ==  =  ==     ========  ======  =  ==  ==  =  =
=  ===   =   ======  ==  =  ========  =========  ==  ===  ===
=  ===   =   ====    ==  =  ========  =======    ==  ====  ==
=  ==== === ====  =  ==  =  ========  ======  =  ==  ==  =  =
=  ==== === =====    ==  =  ========  =======    ==  ===   ==
=============================================================
 o88                                              o888o             o888              
 oooo  oooo  o  oooo   ooooooo   oo oooooo      o888oo    ooooooo    888   oooooooo8  
  888   888 888 888    ooooo888   888   888      888      ooooo888   888  888ooooooo  
  888    888888888   888    888   888   888      888    888    888   888          888 
 o888o    88   88     88ooo88 8o o888o o888o    o888o    88ooo88 8o o888o 88oooooo88  

12 FAKTA TENTANG IWAN FALS

1. Sebelumnya nama Iwan Fals memiliki ejaan yang berubah-ubah. Dalam beberapa album lamanya pernah memakai ejaan IWAN FALES, IWAN PALES, IWAN FALLS, IWAN FALSE. Hingga akhirnya disederhanakan oleh pihak recording menjadi Iwan Fals saja. Pada album lamanya juga pernah dicantumkan nama asli (Virgiawan Listanto) sebagai pencipta lagu.

2. Sebelum album 'Sarjana Muda' (1981), Iwan Fals sebenarnya sudah pernah rilis beberapa album. Tetapi sekarang tidak ada satupun yang bisa ditemukan di record store. Semuanya jadi collector item yang diburu para penggemar fanatiknya. Karya-karya yang musik dan liriknya sangat sederhana tersebar dibeberapa album yaitu 'Yang Muda Yang Bercanda', 'Canda Dalam Nada', 'Canda Dalam Ronda', 'Perjalanan' dan 'Tiga Bulan'. Bisa dihitung hanya beberapa yang masih memiliki dan merawat album-album ini.

3. Lagu 'Kemesraan' adalah karya dari Franky dan Jhony Sahilatua yang pada awalnya dinyanyikan oleh duet legendaris Franky & Jane. Namun pada masa itu lagu ini tidak terlalu populer. Kemudian Iwan Fals ditawari untuk menyanyikan kembali bersama Titiek Hamzah. Lagi-lagi karya ini tidak terlalu dikenal. Baru kemudian pada tahun 1988 lagu ini dinyanyikan bersama-sama penyanyi lain yang tergabung dalam Musica Studio seperti Chrisye (alm), Rafika Duri, Betharia Sonata dan sebagainya dan menjadi lagu yang populer dan legendaris. Lagu Kemesraan versi terakhir ini adalah titik awal populernya lagu gaya 'keroyokan' di Indonesia yang saat itu memang sedang menjadi trend. Karya ini sampai sekarang menjadi lagu 'wajib' perkumpulan ibu-ibu atau acara seremonial lainnya.


4. Iwan Fals pernah membuat lagu berjudul 'Anissa' yang intinya bercerita tentang kelahiran putri keduanya (Anissa Cikal Rambu Bassae) dimana banyak peristiwa yang terjadi selama masih didalam kandungan. Sedianya lagu ini masuk dalam album 'Aku Sayang Kamu' pada tahun 1986. Namun tidak jadi dimasukkan dengan alasan pihak recording (Musica Studio) tidak mau mengambil resiko menampilkan lagu dengan lirik yang keras. Kalau kita baca sampul album 'Aku Sayang Kamu', pada bagian penata musik terdapat kata-kata Anissa namun lagu ini tidak pernah ada. Lagu ini sempat diputar di radio tetapi hanya sebentar. Beberapa fans fanatik beruntung bisa mendapat rekamannya dan menjadikan koleksi yang berharga.


5. Iwan Fals pernah mengusulkan nama 'Septiktank' sebagai nama grup band yang akan dibentuk pada tahun 1989 bersama Jabo, Yockie, Naniel, Nanoe, Innisisri, Totok Tewel dan Tatas. Namun beberapa personil menolaknya sehingga dilakukan lotere. Dan terpilihlah nama 'Swami' yang merupakan usulan dari Jabo. Ini plesetan dari kata 'suami' karena mereka semua sudah beristri. Nama Swami dan Iwan Fals tidak bisa dilepaskan dan melahirkan single hits yang begitu fenomenal sepanjang masa yaitu lagu 'Bento'.

6. Pitat Haeng, sebuah nama yang mungkin asing ditelinga kita. Tapi tahukah anda, nama ini adalah nama samaran yang digunakan Iwan Fals. Nama ini dipakainya ketika menciptakan lagu yang cukup terkenal di era 90-an berjudul 'Pak Tua' untuk Elpamas sebuah grup band, dan pernah digunakan ketika membantu album 'Bukan Debu Jalanan' (1991) milik Sawung Jabo. "Pitat Haeng itu bahasa slengnya Jogja untuk Iwan Fals. Pitat itu Iwan, Haeng itu Fals. Dia pake nama itu karena nggak mau orang lain membeli album saya karena ada namanya. Dia punya pikiran yang baek", kata Jabo. Iwan Fals suka membuat karya untuk orang lain dengan nama samaran. Dan kemungkinan masih ada beberapa nama yang belum pernah diketahui.


7. Album 'Cikal' (1991) adalah salah satu album solo paling dahsyat dalam sejarah karir Iwan Fals. One of Iwan Fals's loose albums. Terdapat sentuhan jazz dalam beberapa lagu seperti 'Proyek 13' dan 'Cendrawasih'. Kemampuan Iwan Fals menulis lirik disini benar-benar mengagumkan. Album ini hanyalah sebagian dari kejeniusan seorang Iwan Fals. Ini adalah album dimana Iwan Fals menanggalkan bayang-bayang Bob Dylan, dan dia melakukan dengan sempurna.

8. Album 'Hijau' adalah album Iwan Fals yang 'melawan arus'. Namun album yang keluar pada tahun 1992 ini sangat istimewa, baik pengerjaan musik, lirik, maupun kisah dibalik prosesnya. Iwan Fals sempat akan membakar master album ini sebelum diproduksi. Alasannya Iwan Fals merasa tersinggung albumnya ditawar-tawar oleh dua produser dari Harpa Record dan Prosound yang bersaing ketat membeli master album ini. Setelah album '1910' (1988), Iwan Fals tidak dikontrak lagi dengan Musica Studio. Akhirnya master album ini dibeli oleh Prosound seharga Rp.365 juta termasuk sampul yang dibuat Dik Doang dan video klip. Bayangkan nilai segitu pada 1992. Sayangnya album yang mengusung musik kontemporer berkualitas tinggi ini tidak terlalu laku. Bukan album yang mudah dikonsumsi telinga pendengar biasa. Dan lebih tepatnya bisa dibilang hanya yang mengerti musik yang bisa mengatakan album ini luar biasa.

9. Iwan Fals hanya membutuhkan gitar akustik dan harmonika untuk menghasilkan sebuah album yang mengagumkan dan luar biasa. Pada album 'Belum Ada Judul' (1992) dia kembali ke gaya awal. Walaupun karya Iwan Fals di album ini mengingatkan kembali pada karya-karya Bob Dylan, terutama tiupan harmonikanya, tetap saja kalau bicara soal album akustik ini adalah karya Iwan Fals yang paling maksimal dari yang pernah ada. Album ini direkam secara live hanya selama 6 (enam) jam.

10. Iwan Fals kembali mengusulkan nama nyeleneh untuk grup band barunya. Ia pernah mengusulkan nama 'Duda' untuk band yang formasinya tidak jauh beda dengan grup 'Swami' yang telah lama vakum. Namun usul itu ditolak, dan akhirnya sepakat menggunakan nama 'Dalbo' yang berarti anak genderuwo. Album ini meluncur pada tahun 1993.

11. Kalau diperhatikan, beberapa tahun terakhir ini kita tidak pernah mengetahui apa merk gitar atau alat musik lainnya yang digunakan oleh Iwan Fals juga musisi pendukung dalam setiap konsernya. Semua merk atau logo baik yang ada di alat musik dan sound system selalu ditutupi atau dihilangkan. Hal yang sama juga berlaku pada background panggung yang bersih dari sponsor.

12. Album 'Manusia Setengah Dewa' (2004) adalah sebuah album akustik Iwan Fals yang mengingatkan kembali kepada album 'Belum Ada Judul' (1992). Album ini sempat mendapat protes karena tampilan gambar di covernya. Album ini dikerjakan secara live dan memakan waktu 2 (dua) bulan. Yang menarik disini adalah, setelah proses rekaman sudah final dan siap diproduksi, Iwan Fals baru sadar kalau dia lupa memainkan harmonika. Untuk mengulang lagi jelas memakan waktu, akhirnya album ini total hanya menampilkan permainan gitar akustik Iwan Fals.
SUMBER  http://www.taukahkamu.com/2011/05/12-fakta-tersembunyi-tentang-iwan-fals.html

Sabtu, 03 September 2011

100 Kalimat Indah Dalam Lirik Lagu Iwan Fals dkk

Lagu-lagu yang dinyanyikan Iwan Fals baik solo album maupun dinyanyikan bersama format group banyak memuat lyric yang istimewa, baik ciptaannya sendiri maupun dari orang lain. Beberapa diantaranya adalah rangkaian kata yang indah dan menjadi kalimat penuh makna.
Berikut adalah sedikit yang sempat kami kumpulkan. Simak dan resapilah makna yang terkandung didalamnya. Semoga hari-hari kita menjadi lebih berguna.




100 Kalimat Indah Dalam Lirik Lagu Iwan Fals dkk
--------------------------------------------------------
1.“Berhentilah jangan salah gunakan, kehebatan ilmu pengetahuan untuk menghancurkan”
(Puing – album Sarjana Muda 1981)

2.“Hei jangan ragu dan jangan malu, tunjukkan pada dunia bahwa sebenarnya kita mampu”.
(Bangunlah Putra-Putri Pertiwi – album Sarjana Muda 1981)

3."Cepatlah besar matahariku, menangis yang keras janganlah ragu, hantamlah sombongnya dunia buah hatiku, doa kami dinadimu”.
(Galang Rambu Anarki – album Opini 1982)

4.“Jalan masih teramat jauh, mustahil berlabuh bila dayung tak terkayuh”.
(Maaf Cintaku - album Sugali 1984)

5.“Jangan kau paksakan untuk tetap terus berlari, bila luka di kaki belum terobati”.
(Berkacalah Jakarta - album Sugali 1984)

6.“Riak gelombang suatu rintangan, ingat itu pasti kan datang, karang tajam sepintas seram, usah gentar bersatu terjang”.
(Cik - album Sore Tugu Pancoran 1985)

7.“Aku tak sanggup berjanji, hanya mampu katakan aku cinta kau saat ini, entah esok hari, entah lusa nanti, entah”.
(Entah - album Ethiopia 1986)

8.“Mengapa bunga harus layu?, setelah kumbang dapatkan madu, mengapa kumbang harus ingkar?, setelah bunga tak lagi mekar”.
(Bunga-Bunga Kumbang-Kumbang - album Ethiopia 1986)

9.“Ternyata banyak hal yang tak selesai hanya dengan amarah”.
(Ya Ya Ya Oh Ya - album Aku Sayang Kamu 1986)

10.“Dalam hari selalu ada kemungkinan, dalam hari pasti ada kesempatan”.
(Selamat Tinggal Malam - album Aku Sayang Kamu 1986)

Surat Kepada Mabuk

Ini adalah puisi karya Remy Soetansyah yang dinyanyikan oleh Iwan Fals. Puisi ini dinyanyikan dalam acara Musikalisasi Puisi Karya Remy Soetansyah di Museum Arsip Nasional Jakarta, 14 Agustus 2009.

Kata mas Remy, "Ini yang dibawakan Iwan dan semua orang standing applaus untuk Iwan. Sementara waktu dia bawain ini, semua diam menahan nafas. Iwan memang orator yang magis...!"


Surat Kepada Mabuk
Puisi karya: Remy Soetansyah
Dinyanyikan oleh: Iwan Fals
Musikalisasi Puisi Remy Soetansyah
Museum Arsip Nasional Jakarta, 14 Agustus 2009


Cinta, aku simpan mabukmu dalam botol
Dan aku layarkan ke samudra hati
Aku mengerti bahwa kau kecewa
Setelah kau reguk bergalon air mata

Atas cinta yang sungsang ini
Atas hati yang terlantar
Atas waktu yang terbuang percuma
Atas nama cinta juga
Kita tinggalkan kebersamaan yang semu ini

Sebab sebenarnyalah
Kita telah punya penjara masing-masing

Cinta, hidup memang membuat kita rajin tak berdaya
Atas takdir, masa lalu yang terlambat datang
Selalu kita sesali pilihan-pilihan hidup
Dan kita harus setia mereguknya

Cinta, kau hanya mabuk sesaat
Hanya memerlukan angin semilir, bertiup di degupmu
Dan kembali tersadar
Bahwa hidup harus dilanjutkan
Selama Tuhan mengijinkan

Aku rasa
Akupun begitu
Hanya perlu sedikit udara sejuk

Cinta, marilah kita terus mabuk
Karena mabuk dan tak mabuk
Aku tak merasakan bedanya

Salam mabuk
Dari seseorang yang hampir tak mampu hidup tanpa mabukmu

Negeri Kaya

Lagu ini adalah hasil akhir dari perjalanan dan perenungan Iwan Fals ke beberapa kota dalam rangkaian Road Show 'KESEIMBANGAN - Oi, Menanam bersama Iwan Fals & Band' di 6 kota Pulau Jawa (28 Juni - 12 Juli 2010). Lirik yang inspirasinya datang saat Iwan Fals berziarah ke makam Bung Karno di Blitar. Ini adalah salah satu lagu terbaru Iwan Fals yang belum ada di rekaman.




 

Negeri Kaya
Iwan Fals (2010)


Negeri ini memang kaya
Kaya orangnya, kaya binatangnya
Negeri ini memang kaya
Kaya alamnya, kaya budayanya
Negeri ini memang kaya
Kaya pejabatnya, kaya penjahatnya
Negeri ini memang kaya
Kaya idenya, kaya sejarahnya
Negeri ini memang kaya

Hei, Bung Karno...
Aku bersimpuh di makammu
Hei, Bung Karno...
Nyenyakkah tidur abadimu
Kudatang mengganggu istirahatmu

Negeri ini memang kaya
Kaya rakyatnya yang menangis diujung parang
Kaya harapan, kaya agamanya

Merah putih termangu
Terkulai berdebu dipojok gedung bekas penjajah
Pancasila meronta
Garuda tertatih melayang pergi
Negeri ini memang kaya

Hei, Bung Karno...
Aku bersimpuh di makammu
Sebarkan kembang ibu yang letih
Hei, Bung Karno...
Nyeyakkah tidur abadimu
Inikah nyanyian kecewa
Hei, Bung Karno...
Aku bersimpuh di makammu
Akankah kisahmu menjadi api
Hei, Bung Karno...
Nyenyakkah tidur abadimu
Dingin yang aneh menyiksa negeri

Merah putih termangu
Terkulai berdebu dipojok gedung bekas penjajah
Pancasila meronta
Garuda tertatih melayang pergi
Negeri ini memang kaya

Hei, Bung Karno...
Aku bersimpuh di makammu
Maafkanlah aku yang cengeng
Hei, Bung Karno...
Nyeyakkah tidur abadimu
Tularkan keberanianmu itu
Hei, Bung Karno...
Aku bersimpuh di makammu
Suaramu menggelegar di kalbu
Hei, Bung Karno...
Nyeyakkah tidur abadimu
Biarlah mimpi itu kan nyata

Negeri ini memang kaya
Kaya penguasanya yang miskin hatinya
Kaya marahnya Indonesia Raya
Negeri ini memang kaya

Pondokku

Ini adalah lirik lagu baru Iwan Fals. Lagu ini pertama kali dibawakan oleh Iwan Fals saat konser perjalanan spiritual Iwan Fals bersama Ki Ageng Ganjur ke Pesantren, 07 Agustus 2010 di Pondok Pesantren Cipasung, Singaparna, Tasikmalaya. Lagu ini belum dialbumkan.






Pondokku
Iwan Fals (2010)


Pertama merasakan hidup yang sesungguhnya
Oh pondokku kau ajari aku yang nyata
Namamu terus terkenang
Diantara nama-nama lainnya

Emas terpendam di keseharianmu
Senandung doa-doa terus tergenang
Arahkan hati dan akalku kepadanya
Lapangnya dada mengenangmu rumah ilmu rumah kebaikan

Makanya aku merindukan itu
Aku merindukan suasana itu
Lihatlah betapa bercahayanya wajahnya
Sinarnya menerangi jalanku

Pondokku...
Pondokku...
Pondokku...
Pondokku...

Sejarah Lahirnya KANTATA TAKWA oleh: Yockie Suryo Prayogo

Kantata Takwa, begitu panjang kisahnya yang bisa saya tulis mengenai kelompok musik tersebut. Karena itu pula saya terpaksa harus membagi-bagi tulisan Kantata dengan versi 1- 2 -3 dan selanjutnya nanti. Pada bagian ini saya hanya akan mengungkapkan kisah perkenalan saya dengan mas Djody hingga terbentuknya kesepakatan kelompok kerja kesenian tersebut, yang akhirnya disebut Kantata Takwa.

Pada tahun 1989, saat itu saya sedang gencar melakukan promo tour bersama kelompok Godbless bagi album kami yang bertajuk ”Semut Hitam”. Saat itu saya masih tinggal di sebuah rumah (kontrakan) di daerah Kebon Jeruk, tepatnya di jalan Anggrek no.52 Kelapa Dua Kebon Jeruk – Jakarta Barat.

Disela-sela kegiatan tour, saat sedang istirahat (jadwal kosong) kami semua selalu pulang kembali ke Jakarta. Suatu hari saya ditelpon oleh Jelly Tobing (drummer) mengajak saya untuk menemani dia berhura-hura (jam-session’an) main musik dirumah seorang kenalannya. Tidak ada target atau tujuan jangka panjang tertentu selain hanya untuk ”bersuka-cita”, bermusik sekedar hepi-hepian mengisi waktu yang luang saja. Temannya tersebut adalah penghobbi musik yang punya fasilitas latihan/nge-band dirumahnya. Lazimnya orang tajir-lah …intinya .. :) .

Saya sendiri setelah diberitahu oleh Jelly Tobing, bahwa orang tajir tersebut namanya Setiawan Djody rasanya sudah tidak asing terdengar dikuping saya. Siapa sih yang nggak kenal dia saat itu…, maksudnya dilingkungan teman-teman lama saya (di tahun 1970’an) yang saat itu banyak berkecimpung di ranah bisnis “puncak gunung”, nama Setiawan Djody adalah jaminan kertas bernilai yang nggak ber-seri istilahnya hehehe.. (sumpah ngga ngaruh.., saya nggak matre’..!).

Kebetulan juga tempat tinggalnya diwilayah Kemanggisan Raya – Kebon Jeruk, yang notabene tidak berapa jauh dari rumah kontrakkan saya sendiri (10 kilometer-an lah kira-kira jaraknya). Maka disuatu hari Minggu, melalui telpon setelah janjian sama Jelly Tobing saya bersedia dateng ke alamat tersebut… ber “jreng-jreng” ria.

Singkat kata kemudian saya menelusuri jalan Kemanggisan raya yang “krodit” penuh dengan oplet dan pedagang kaki lima dikanan kirinya. Saya mencari-cari nomer rumah yang diberikan pada saya……..fuih..! nggak keliatan jek! Abis kiri kanannya penuh toko-toko bangunan serta deretan warung dan kios-kios lainnya.

Barulah akhirnya saya lihat ada sebongkah pintu gerbang besar berwarna ijo, nyelip diantara warung gudeg dan bakul-bakul rokok pinggiran jalan lainnya. Hm…ini mungkin pikir saya. Lalu sesuai dengan ”petunjuk Jelly Tobing”, bahwa: ”Klakson aja” kalau sudah ketemu gerbang ijo tersebut. Maka saya klaksonlah pintu gerbang ijo tersebut dua kali saja, ”tin…tiiin” gitu bunyi BMW 520 (yang juga masih belom lunas kreditan-nya) hehehe.

Sekejap pintu besar tersebut dibukakan oleh dua orang bertubuh tegap berambut klimis berwajah sangar ..hihihi. Mereka yang kemudian saya kenal akrab bernama pak Parno dan lainnya huehehe. Begitu hidung mobil masuk pintu pagar, terbentang ruang parkiran luas yang kira-kira mampu menampung 12 mobil banyaknya. Masih dari dalam mobil saya melihat dua ekor patung macan Afrika (item dan guwedhe) yang terbuat dari batu semen, sepertinya emang bertugas untuk menyambut kedatangan tamu yang hadir disana. Ck..ck..ck..kagumnya saya… (ndesit tenan..!).

Ruang parkiran tadi adalah bagian terpisah yang dibatasi dengan tembok tinggi untuk memasuki ruang bangunan rumah yang sebenarnya. Maka setelah melewati tembok pintu besar (melewati macan-macan tadi) …semakin takjub saya dibuatnya…. Rasanya tidak sedang berada seperti di Jakarta, namun lebih mirip saya sebut seperti sedang di daerah Bali (mis: Ubud/Gianyar, dsb). Sementara bangunan rumahnya sendiri bergaya klasik aristokrat Eropa yang rada-rada serem dan mencekam (paling nggak buat saya… kebayang sih.. gimana kalau malam..) apalagi disana sini banyak dibangun semacam ”pura” lengkap dengan sesajen2nya. Tetapi sekejap ke-takjub’an saya sirna oleh suara bising ”gedebak.. degebug… nguinngg nguuueinng.. suara gitar bertalu-talu ..hehehe..” (koq gitar bertalu-talu sik?..salah yaakk…biarin deh..).

Tampak Jelly Tobing (biasa…super heboh..) dengan beberapa rekan musisi yang sudah saya kenal seperti Ferry Asmadibrata (musisi terkenal asal Bandung) dan juga ada seorang promotor kawakan… Sofyan Ali namanya ..wah ..seru…(Bla..bla..ba..). Lalu saya dikenalkan ke Setiawan Djody oleh Jely Tobing dan sejenak kami terlibat pembicaraan “ngalor ngidul” sebelum akhirnya saya ikut-ikutan gunjrang-gunjreng nge-berisikin tetangga…: ”JUMP!” by Van Hallen…eh’..tak begitu lama kemudian nongol Renny Jayusman (rocker wanita yang selalu kalungan se-lemari banyaknya..) hehehe.. Datang langsung nyamperin microphone… ”ohh yeeeaahhh…Jumppp!!!” hayaaahh…

Kelompok/pergaulan awal tersebutlah yang kemudian melahirkan gagasan untuk membiayai rekaman bagi ”Mata Dewa” nya Iwan Fals dengan arranger-nya Ian Antono. Yang juga kemudian melahirkan pemikiran Sofyan Ali untuk mendirikan join perusahaan bersama Setiawan Djody yang bernama ”AIRO”. Semenjak saat itulah hubungan pergaulan saya dengan Setiawan Djody kian hari kian akrab, sebagai sesama orang yang mencintai dunia kesenian (khususnya di musik).

Barulah pada tahap-tahap berikutnya akan saya ceritakan proses bergabungnya teman-teman musisi yang lain seperti Iwan Fals / Sawung Jabo dan lainnya.
Semenjak itu saya kerap kali ditelpon mas Djody untuk membicarakan berbagai hal tentang perkembangan musik di Indonesia. Saya katakan bahwa pada intinya musisi ’alternatif’ (non industri) di Indonesia ini membutuhkan "uluran tangan" dari berbagai pihak yang ”peduli”, yang bukan hanya mikirin rumus dagang saja tapi juga mikir tentang "berkesenian" dalam artian yang lebih luas lagi.

Saya melihat ada ”concern” dari dia untuk mau berdialog dengan saya panjang lebar tentang hal tersebut. Maka ketika suatu kali dia menceritakan gagasannya yang ingin bekerja sama dengan AIRO (saat itu perusahaan tersebut masih menjadi milik Sofyan Ali) secara spontan saya langsung mendukungnya.

Dan pada saat itu hubungan kerjasama antara Sofyan Ali dengan Iwan Fals memang sudah berjalan (lewat berbagai konser Iwan sendiri saat-saat itu). Maka ketika konser 100 kota yang akan dimulai di Sumatra (Palembang) tersebut dicekal, Sofyan Ali berkeinginan untuk mengajak Iwan masuk studio guna rekaman.

Rekaman Iwan Fals tersebut akhirnya berlangsung dibawah management AIRO yang bekerjasama dengan SD (Setiawan Djody). Dan seingat saya sebelum masuk ke studio, SD pernah pergi berdua dengan Iwan ke Bali, dimana mereka pada akhirnya berhasil menciptakan lagu ”Mata Dewa”. SD sendiri mengatakan bahwa Mata Dewa adalah ”Sunset” yang mereka lihat ketika mereka gitaran berdua di pantai Kuta.

Maka berikutnya, ketika Iwan Fals sedang sibuk merekam Mata Dewa, saya sendiri mulai sering mengawal SD untuk bermain musik, baik itu dirumahnya atau terkadang beberapa kali ikut konser bersama dipanggung-panggung musik di Ancol. Formasinya waktu itu antara lain Jelly Tobing dsb. Kami hanya memainkan repertoar-repertoar bule. Umumnya lagu-lagu dari Led Zepllin dan U2 ada satu atau dua sih lagunya Van Hallen. Maklum kelompok tersebut memang bukan band serius, tapi hanya sekedar ”gathering” atau kelompok gaul dan per-temanan saja.

Jujur saja, lama-lama saya merasa ”eman” atau sayang kalau melihat kemampuan ”finansial” yang dimiliki hanya untuk ”proyek” kesenangan pribadi saja. Maka secara bertahap perlahan tapi pasti, saya mulai ”meracuni” isi otak pikiran SD agar mau membantu kondisi musik rock yang saat itu emang sudah mulai ”terkapar” tak berdaya.

Hanya ada satu orang di Indonesia kala itu yang secara spesifik berkutat di bisnis musik rock kita, yaitu Log Zelebour yang kebetulan juga mengelola management Godbless. Namun keberadaan Log Z. lebih pada pendekatan bisnis pragmatis, sedangkan yang saya anggap diperlukan musisi rock Indonesia adalah figur sponsor yang berfungsi sebagai seorang ”maesenas”. (yang nggak berpikir harus untung melulu).

Album Mata Dewa
Maka berikutnya, ketika Iwan Fals merilis album Mata Dewa dengan konsep (terobosan) ”direct sale” di Parkir Timur Senayan, sekali lagi saya meyakinkan SD agar melihat peluang kesempatan yang bisa dilakukan demi perkembangan musik rock di tanah air. Konsep terobosan diatas yang saya maksud adalah: kaset Mata Dewa tidak dijual oleh Sofyan Ali (AIRO) melalui agen-agen yang sudah ada (resmi) namun langsung dipajang di mobil-mobil box saat konser di Parkir Timur Senayan. Konsep tersebut terbukti ampuh serta membuka mata banyak orang, bahwa dominasi "Glodog" bisa dipatahkan asalkan ada sebuah sistem distribusi yang direncanakan secara matang.

Beberapa bulan kemudian setelah kaset tersebut terbilang ”sukses”, maka Setiawan Djody mengundang kita semua (saya, Iwan Fals dan WS.Rendra serta Sawung Jabo) guna ngobrol membicarakan segala kemungkinan kesepakatan yang bisa dicapai. Perkenalan antara WS.Rendra (mas Willy) dengan SD sudah terjalin semenjak lama sebelum saya sendiri hadir disana. SD selama itu memang bertindak sebagai maesenas bagi kebutuhan “Bengkel Teater” Rendra, bahkan sudah sempat mengadakan pementasan di New York dan beberapa kota di luar negeri dan sebagainya. Sedangkan Sawung Jabo sendiri adalah salah satu anggota dari Bengkel Teater tersebut.

Singkat kata, kami hampir menemukan kesepakatan untuk saling bekerja-sama, namun harus melewati satu masalah lagi atau anggap saja satu persyaratan yang harus diselesaikan terlebih dahulu. Yaitu, Iwan Fals bersama S.Jabo dan kawan-kawan yang lain ternyata sedang membuat lagu-lagu, dan sedang merencanakan untuk bisa direkam di studio dan sebagainya. Persyaratan tersebut meminta agar SD juga bersedia menangani masalah management recording bagi mereka. Agar saat nanti, bila kita bisa bekerja sama maka “master” dari produk rekaman tersebut tidak kemana-mana, alias dikelola oleh satu management saja.

SD menyetujui persyaratan tersebut dan bersedia bersama-sama Sofyan Ali untuk mengelola dibawah bendera/label AIRO. Disanalah awal mula gagasan besar tersebut beranjak. Saya pribadi sebenarnya juga tertarik untuk terlibat dalam rekaman yang akan mereka lakukan tersebut, namun saat itu saya lebih berfikir ”taktis” agar lebih berkonsentrasi ”mengawal” SD agar tidak berubah pikiran ..hehehe..., maklum ”roang tajir” kadang-kadang suse’ dipegang buntutnya. Saya sering menemani dia untuk workshop dirumahnya, sekaligus memberi masukan-masukan dan yang terpenting adalah melengkapi peralatan musik yang nanti dibutuhkan .

Singkat cerita, beberapa bulan kemudian rampunglah rekaman Iwan dan teman-teman tersebut (di GIN studio), lalu program jangka pendek berikutnya adalah ”launching” serta dilanjutkan dengan konser (promo).

Sayang, entah mengapa tiba-tiba saya mendapat berita bahwa Sofyan Ali mengundurkan diri dari kelompok kerja tersebut. Dan menyerahkan AIRO untuk dikelola sendiri oleh management SD yang saat itu bernama Multy Setdco. Saya sempat kecewa dengan hal tersebut.... sebab dimata saya belum ada orang Indonesia saat itu yang mampu mengelola bisnis pertunjukan musik dengan baik sekaliber Sofyan Ali.

Album Pertama SWAMI
Bertempat disebuah cafe di wilayah Kuningan tepatnya di Gedung milik Wisma Bakrie, maka launching album bertajuk SWAMI diluncurkan disana. Saya sendiri turut terlibat untuk ikut main secara live pada acara peluncuran album tersebut, padahal sewaktu proses rekamannya saya tidak terlibat. Kami (SWAMI) kemudian sempat pula konser di GOR Kridosono Jogjakarta sebelum pada akhirnya saya, Iwan, Jabo dan Rendra berkumpul lagi untuk melanjutkan pembicaraan guna merealisasikan ”kesepakatan awal” tentang kolaborasi bersama-sama. .

Hari-hari itu... adalah hari-hari dimana Bento dan Bongkar "menggelegar" bagaikan hendak memecah angkasa Indonesia.
Sayang sekali saya tak ingat kapan persisnya pertemuan antar kami berlima terjadi, namun bisa dipastikan bahwa kami semua berkumpul ditempat kediaman SD di wilayah Kemanggisan Raya - Kebon Jeruk tersebut.

Satu hal yang cukup penting harus saya katakan disini, bahwa sebenarnya ada satu nama lagi yang saya usulkan diantara kami berlima yang sudah ada, saya usulkan untuk bergabung dalam kolaborasi tersebut. Yang bersangkutan sendiri secara prinsip bersedia serta sudah beberapa kali juga hadir disana untuk membahas dan membicarakan berbagai hal (dialog non teknis lainnya) sebagai persiapan untuk merumuskan konsep dan bentuk yang akan dirancang. Orang tersebut adalah salah satu sahabat saya sendiri, Harry Roesli (almarhum). Yang juga dijuluki sebagi Musisi mBeling dari kelompok DKSB.

Namun karena Harry Roesli seperti yang sudah kita ketahui bersama domisilinya berada di Bandung, maka hanya sesekali saja yang bersangkutan bisa hadir membicarakan berbagai hal, sedangkan kami berlima yang lainnya lebih sering dan intens untuk berkumpul . Maklum jarak antara Jakarta – Bandung saat itu harus ditempuh selama 4 jam’an lebih. Sebab belum ada jalan tol seperti sebagaimana kondisi saat ini.

Hari-hari berikutnya adalah disepakatinya kegiatan workshop secara rutin di Kebon Jeruk. Jelly Tobing beberapa kali turut hadir disana dan menemani kita untuk memainkan drum ketika datang. Komposisi orang-orang yang terlibat workshop di awal-awalnya adalah saya di keyboard, SD di gitar listrik, Iwan gitar akustik, Jabo di cuap-cuap, Jelly Tobing di drum, serta Edmond (seorang musisi ”lawas” asal kota Solo, yang dulu pernah tergabung bersama SD di Band Terencem pada tahun 70’an).

Figur yang terakhir ini adalah orang yang cukup ”unik” dimata kita semua. Selain gemar guyonan ”khas Jawa”, yang bersangkutan juga sering kita anggap sebagai ”guru spiritualnya” SD selama ini yang khusus untuk menemani SD main gitar sehari-hari sebelum kita semua ada dilingkaran pergaulan di Kebon Jeruk.. (hehehe).

Kegiatan tersebut dilakukan seminggu dua kali (kalau tidak salah) saya tidak ingat lagi tepatnya setiap hari apa kita berkumpul dan bermusik bersama. Yang pasti itu dilakukan disela-sela kegiatan konser promo bagi album Swami (Bento, Bongkar dll.).

Dalam suasana workshop diatas, secara tehnis kami semua sepakat untuk tidak mengacu kepada satu kredo-kredo tertentu, atau warna musik tertentu namun lebih kepada ”mengalir saja” seperti air. Bisa dibayangkan bagaimana suasana ”riuh” yang terdengar disana.

Riuh yang saya maksudkan adalah… gegap gempitanya suara drum yang menggebu dengan ditimpali oleh suara lengkingan gitar yang sangat dominan, serta teriakan-teriakan tanpa kalimat (sekedar na..na..na dsb) dari Iwan Fals dan Jabo. Ditambah lagi dengan tidak adanya ”jalur kord” yang sudah disepakati sebelumnya, alias 3 jurus plus. (nah…”plus” nya itu yang bisa 10 bisa 20 bisa 30… pokoke sak matek’e lah..) hehehe..

Saya sendiri menganggap suasana hiruk pikuk tersebut sangatlah dibutuhkan, agar saya bisa menangkap ”esensi” dari keinginan serta karakter ekspresi masing-masing personal yang ingin disampaikan. Walaupun harus saya akui seringkali saya terpaksa harus ”melindungi” kedua belah lobang dikuping saya dengan jari tangan… supaya dia nggak pecah atau paling tidak enggak jadi ”kendor” selaputnya ..hehehe. Terutama dari bunyi freqwensi yang dihasilkan dari perangkat Soldano nya SD, yang luar biasa tingginya serta keras suaranya.

Bayangkan saja, Soldano tersebut di-distribusikan ke 4 pasang Speaker Marshal 200 lewat 4 buah power tersendiri untuk memenuhi kebutuhan 4 stack speaker Marshall tadi. (seperti kita ketahui bahwa satu stack terdiri dari dua buah speaker). Artinya suara gitar SD disalurkan lewat 8 buah speaker dalam ruangan workshop yang hanya seluas sekitar 5 X 12 meteran. Sedangkan kami yang lainnya, apalagi saya… hanya bersandarkan pada satu buah amplifier ukuran kecil sekelas Fender Jazz Chorus untuk keybord, demikian juga yang lainnya.

Gubbraaakk.. Gedubrakkss… nguinggg.. nGGuuing… CiiaaTT.. wwwAAAAA..!!!, gitu deh’…kira-kira bunyinya dalam bentuk tulisan di huruf……hahaha..!

Sementara mas Willy saya lihat tampak sering hanya mampu bertahan sebentar didalam ruangan lalu berjalan kearah pintu untuk kemudian cukup melihat dan mendengar dari luar tempat latihan tersebut…sambil sesekali dahinya mengkerut… mungkin mencoba menangkap suasana yang cukup liar… lalu menuliskan sesuatu diatas kertas. Ya… saya baru sadar kemudian, rupanya mesin produksinya langsung terpicu dan langsung juga bekerja sebagai penulis naskah.

Hingga akhirnya saya putuskan didalam pertemuan berikutnya, bahwa program workshop selanjutnya haruslah dilakukan secara lebih sistemik. Tidak bisa lagi kita terus-terusan hanya mengeksplorasi suasana tanpa ada kemampuan dan keinginan untuk menangkap/merumuskan “esensi” dalam bentuk sebuah konsep agar lebih “real” dan konkrit. Saya mengusulkan agar latihan-latihan berikutnya cukup terdiri dari beberapa orang saja dari kami guna terciptanya lagu-lagu yang diinginkan.

Disepakati kemudian bahwa saya ditunjuk sebagai komandan untuk berhak memutuskan segala sesuatunya yang berkaitan dengan bunyi-bunyian musik. Rendra sebagai penulis teks dan lirik untuk melengkapi lagu. Sawung Jabo sebagai “tong sampah” yang berfungsi menampung berbagai “aspirasi” keinginan yang ingin disampaikan oleh semua pihak. Iwan Fals sebagai juru terompet yang mewakili suara semua pihak lewat suara nyanyian. Dan SD sebagai penyedia sarana dari berbagai hal teknis yang diperlukan.

Hari-hari berikutnya hanya saya, Iwan Fals, Sawung Jabo dengan ditemani oleh Robin (musisi warga Philipina) yang lebih bertugas merekam draft lagu-lagu kedalam computer lewat “cakewalk” nya. Kami bertigalah yang akhirnya bekerja secara detail untuk mengarang lagu secara kolaboratif bersama.

Demikianlah sejarah awal dari terbentuknya kelompok musik KANTATA TAKWA yang bisa saya rekam dalam tulisan. Semoga tulisan ini suatu saat bisa terus diperbaharui atau ditambahkan lagi berbagai kekurangannya atau bahkan dikoreksi bila diperlukan, agar bisa melengkapi kisah-kisah yang harus disimpan dalam ruang-ruang perpustakaan perjalanan musik di Indonesia pada umumnya.

Saya prihatin mengingat system per-dokumentasian kita yang sampai detik ini belum juga berfungsi sebagaimana seharusnya. Orang hanya diajarkan untuk melihat “hasil” dan menutup mata kepada “proses” serta dasar “filosofi” yang melatar belakanginya.

Selamat pagi Indonesia , hari sudah menjelang sore....

Teks asli artikel ini diposting pada 8 Juli 2008, oleh Yockie Suryo Prayogo

Kamis, 01 September 2011

Menurut Sendjaja Widjaja, hingga 25 Agustus lalu kaset Suara Hati sudah terjual 160 ribu. Ini lumayan untuk ukuran Musica walau belum selaris band remaja Sheila on 7 dari PT Sony Music Indonesia yang penjualan album tunggalnya bisa tembus satu juta keping

Menurut Sendjaja Widjaja, hingga 25 Agustus lalu kaset Suara Hati sudah terjual 160 ribu. Ini lumayan untuk ukuran Musica walau belum selaris band remaja Sheila on 7 dari PT Sony Music Indonesia yang penjualan album tunggalnya bisa tembus satu juta keping.

Menurut Sendjaja, penjualan album Fals paling laris adalah Tembang Cinta (1993) sebanyak 535 ribu dan Best of the Best Iwan Fals sebanyak 466 ribu. Keduanya album kompilasi atau campuran. Best of the Best diedarkan tahun 2000 dan sampai sekarang masih termasuk album-album terlaris Musica.

Endi Aras mengatakan lagu Hadapi Saja disukai Iwan. Album ini mengingatkan pendengar pada kematian Galang Rambu Anarki. Ini juga mengingatkan saya pada penghormatan Eric Clapton kepada anaknya, Conor, dengan lagu Tears in Heaven. Conor masih berumur 4,5 tahun ketika jatuh dari lantai 56 apartemen Clapton di New York pada 1991. Clapton juga tertekan karena kematian Conor.

Aransemen Hadapi Saja meyayat hati. Permainan biolanya mengalun. Liriknya juga kuat. Saya kira kematian anak-anak mereka jadi dorongan besar bagi Clapton dan Fals untuk menciptakan karya yang ekspresif.

relakan yang terjadi dia takkan kembali
ia sudah jadi milik-Nya bukan milik kita lagi
tak perlu menangis
tak perlu bersedih
tak perlu sedu sedan itu
hadapi saja
hilang memang hilang
wajahnya terus terbayang
jumpa di mimpi
kau ajak aku untuk menari, bernyanyi
bersama bidadari, malaikat, dan penghuni surga

Endi Aras juga cerita proses pembuatan lagu 15 Juli 1996. Pada 15 Juli 1996 Endi menemani Iwan Fals pergi ke tempat Megawati Soekarnoputri, ketua Partai Demokrasi Indonesia, yang kedudukannya sedang digoyang tukang pukul dan centeng Soeharto. Iwan tak bertemu Megawati, hanya lihat dari jauh, tapi simpatinya muncul. Dua minggu setelah kedatangan Iwan, para tukang pukul itu menyerbu markas Megawati, menggusur para pendukung Megawati dengan kekerasan, dan memicu pergolakan Jakarta yang dikenang sebagai Peristiwa 27 Juli 1996.

Tapi masih ada kritik tentu. Kritik datang dari Santi W.E. Soekanto, wartawan The Jakarta Post, yang mengingatkan publik bahwa sponsor utama Iwan Fals adalah rokok A Mild dari Sampoerna. “Inilah hal yang sama sekali tak dibutuhkan Indonesia: pahlawan yang memperkenalkan ‘pintu masuk’ pemakaian narkotika dan obat-obatan keras.”

Soekanto mengutip data World Health Organization yang mengatakan ada 1,1 miliar perokok di dunia. Jumlah ini akan meningkat hingga 1,6 miliar pada 2025. Di negara-negara kaya, jumlah perokok menurun, tapi jumlahnya meningkat di negara-negara miskin. Indonesia negara miskin bukan?

Departemen Kesehatan melaporkan 6,5 juta orang Indonesia tiap tahun terkena penyakit akibat kebiasaan merokok dan 57 ribu di antaranya meninggal dunia (kebanyakan laki-laki). Kebiasaan merokok membuat pemerintah kehilangan banyak sumber daya karena membiayai kerusakan-kerusakan akibat rokok.

Di negara-negara kaya kampanye antirokok berjalan kencang. Federation of Football Association (FIFA) November lalu menandatangani perjanjian dengan WHO melarang sponsor rokok di lapangan sepak bola. FIFA sengaja menyamakan pembukaan Piala Dunia 2002 di Korea Selatan dan Jepang 31 Mei lalu dengan hari antirokok sedunia. MTV mendukung kampanye antirokok dengan memasang iklan para penyanyi yang menganjurkan remaja tak merokok. Di Amerika Serikat para penyanyi besar mendukung kampanye antirokok.

Industri rokok melawan kampanye ini lewat iklan dan promosi besar-besaran, terutama di negara-negara berkembang, baik lewat sponsor olahraga maupun musik. Iklan mereka menipu para remaja dengan kesan palsu bahwa rokok membuat mereka terlihat gagah dan dewasa. Rokok diidentikkan dengan olahragawan dan musisi ternama.

Ini dilawan. WHO di Indonesia memilih juara tenis Angelique Widjaja, binaragawan Ade Rai, dan peragawati Tracy Trinita untuk mendukung kampanye antirokok. “Sayangnya, tak terlalu banyak anak muda yang melihat Angie, Ade, atau Tracy. Para aktivis antirokok memerlukan senjata yang lebih besar. Seseorang dengan kaliber Iwan Fals,” kata Santi Soekanto.

Kolom ini mengingatkan saya pada diskusi Salatiga 12 tahun lalu. Dalam 12 tahun ini Iwan melihat Galang ikut-ikutan papanya merokok lantas mencoba obat-obatan hingga meninggal. Kehidupan pribadi Iwan memang berubah banyak. Titin Fatimah, sekretaris Manajemen Iwan Fals, mengatakan pada saya ketika ia mulai bekerja tiga tahun lalu, Iwan Fals sudah tak merokok.

“Suatu kenyataan hanya rokok yang bisa mengeluarkan dana cukup besar untuk pertunjukan musik. Dulu kalau pertunjukan indoor, banyak penonton yang tak bisa nonton. Kami memutuskan outdoor dan biaya produksinya besar. Hanya rokok yang bisa membiayainya,” kata Yos Rosana.

Fals sempat bilang dia mungkin bisa merokok lagi dengan tur sponsor rokok. Yos mengatakan lebih baik tidak tur bila Iwan Fals kembali merokok. “Mendingan nggak usah main,” kata Yos. “Saya juga nggak suka rokok itu. Saya tahu itu ndak baik. Ini buah simalakama,” kata Yos.

Henny Susanto dari Sampoerna, menerangkan kepada saya bahwa A Mild menghormati kontrak itu. Mereka mensponsori Iwan Fals karena penggemar Fals “sangat sesuai” dengan pangsa pasar A Mild.

Penjelasan Titin, Yos, dan Henny Susanto senada dengan materi diskusi Salatiga. Rokok dianggap menganggu estetika tapi bukan kesehatan. Saya sulit menyalahkan Iwan kalau ia belum berani menolak sponsor rokok karena kontribusinya sangat besar. Tanpa rokok mungkin tak ada konser.

Apa yang didapat Sampoerna? Henny Susanto menjawab, “Kesempatan untuk berkomunikasi dengan target market, baik yang datang ke pertunjukan maupun yang sekedar melihat publikasi yang kita lakukan.”

Kalau saya boleh menterjemahkan kata-kata Henny Susanto, A Mild merasa gembira dengan kerja sama ini. Para penggemar Iwan Fals, katakanlah orang semacam Fajar Wijaya, si pengamen bertopi merah itu, adalah pangsa pasar A Mild. Sedih juga mengetahui Iwan Fals ikut mendorong anak-anak muda merokok.

Kehidupan bukan sesuatu yang sederhana. Kehidupan sering penuh kompromi. Senja September itu, ketika saya meninggalkan Leuwinanggung, pikiran saya penuh dengan gejolak tentang Iwan Fals. Dia dipuja, disukai, dan dianggap manusia super, tapi ia juga mungkin kesulitan memenuhi harapan orang banyak yang menganggapnya bisa mewakili dan menolong mereka.

Tambahan:
Kini Iwan Fals semakin matang dan religius. Merokok dan lain-lain sudah lama ia tinggalkan. Mendekat kepada Sang Pencipta pun semakin intens ia lakukan. Hal ini antara lain tercermin pula dari beberapa lagu terkini. Iwan senantiasa belajar dari perjalanan masa lalu untuk menjadi manusia yang semakin baik. Satu hal yang tak pernah berubah dalam diri Iwan, ia tak pernah lelah bersuara lantang melawan ketidakadilan. [ Sumber : Andreas Harsono ]

Bagaimana Iwan Fals bangkit dari kerusuhan jiwa dan menjadi saksi? 3

“Saya nggak mau kalau ketua. Konsekuensinya berat. Endi juga nggak mau. Sampai pulang nggak jelas. Ma’mun nggak mau juga. Ma’mun ingin Iwan jadi ketua. Endi nggak mau (alasannya) ini khan fans club. Endi keukeuh (harus) Wati,” kata Kresnowati.

Keesokan hari Kresnowati terpilih sebagai ketua Oi. Menurut Digo Zulkifli, penggemar asal Bandung, pada pertemuan tiga hari itu mereka diskusi: mau jadi fans club atau organisasi massa. “Kalau jadi fans club, idolanya sendiri, si bosnya (Fals) nggak enak.” Mereka memutuskan jadi organisasi massa.

Wati pada tahun pertama lebih meletakkan dasar administrasi. Mereka bikin kartu anggota, membuka cabang, dan membuat arsip. “Nggak mudah mengatur 10.000-an orang di seluruh Indonesia.” Kini Oi diketuai Heri Yunarsa, seorang pegawai negeri dari Serang.

Hambatan banyak. Wati melihat orientasi penggemar Fals masih kabur antara organisasi massa dan klub. Banyak yang masuk Oi untuk “cium tangan” Iwan. “Kayak ketemu raja … apalagi daerah lho ... kita jadi bingung ngeliatnya,” kata Wati. Masalah dana juga hambatan. Iwan mungkin orang kaya tapi mendanai organisasi butuh uang besar sekali.

Entah apa yang akan terjadi kalau Iwan suatu saat jadi kurang populer atau makin mengendurkan musiknya? Bagaimana bila Iwan meninggal? Sejauh mana Oi bisa bertahan kalau didasarkan ikatan emosional pada lagu-lagu lama Iwan Fals? Bagaimana mengubah loyalitas individu jadi loyalitas organisasi? Bagaimana Oi bisa “memberdayakan” anggotanya?

Saya ingat Elvis Presley, bintang musik pop Amerika 1960-an, yang mengatakan, “Music is like religion: when you experience them both, it should move you.” Menurut Sun Record, album Presley terjual lebih dari satu milyar selama masa hidupnya (Love Me Tender, It’s Now Or Never atau Are You Lonesome Tonight).

Musik Fals juga menggerakkan banyak orang di Indonesia. Fals dianggap mampu merekam semangat perlawanan orang-orang yang dipinggirkan pada masa Orde Baru. Ketika Presley meninggal, lagu-lagunya malah jadi abadi. Makam dan rumahnya ramai dikunjungi orang. Lagu-lagunya terus direkam ulang dan jadi tambang emas untuk ahli warisnya. Akankah Fals mengikuti jejak Presley? Apakah musik Fals sudah mirip pengalaman beragama?

Iwan sudah pernah memikirkan ini. “Ada saya atau tak ada saya, saya hadir di Oi,” kata Digo Zulkifli menirukan Fals.

Oi kini punya perwakilan di berbagai kota Indonesia. Ini organisasi unik tanpa preseden. Kantor-kantor perwakilannya juga unik. Di Cilegon ia nongkrong di kantor pemerintahan kabupaten. Di Tangerang berkantor di tukang jagal. Banyak juga yang berada di gang-gang sempit. Agus Suprapto dari Oi Yogyakarta mengatakan mereka mendapat bantuan dari Sultan Hamengku Buwono X.

Gema Fals juga tembus hingga Timor Lorosa’e. Hugo Fernandes, redaktur majalah Talitakum, memberitahu saya bahwa panitia kemerdekaan Timor Lorosa’e mengundang Iwan Fals ke Dili ketika negara itu hendak menyatakan merdeka 20 Mei lalu. “Semua orang Dili tunggu Iwan Fals mau datang. Orang kecewa karena Iwan tidak datang. Di Dili dia itu kayak dewa.”

Tampaknya negara kecil yang punya luka tersendiri karena penguasaan Jakarta ini—sering dikatakan sepertiga penduduknya mati karena terbunuh atau kelaparan akibat 22 tahun pendudukan tentara Indonesia—punya banyak orang yang justru merasa ketertindasan mereka diwakili dan disuarakan Iwan Fals.


SESUDAH lama tak berkarya, Iwan Fals mengalami hambatan bikin album baru. Effendy Widjaja, salah seorang direktur Musica, membantu Fals mengatasinya. “A Pen yang mendobrak. Saya harus bikin lagu katanya. ‘Jangan loyo dong!’ Dia mrepet (mengomel),” kata Iwan.

“Akhirnya saya bangkit, minjam duit. Dia pilih dari 300 lagu, dia tandai. Dia pandai, pilihannya saya lihat masih dalam bingkai saya.”

A Pen, nama panggilan Effendy, berunding dengan kakaknya, Sendjaja Widjaja atau A Ciu, presiden direktur Musica, dan Iwan pun diberi pinjaman uang. Mereka tak menyebut berapa pinjamannya. Musica hanya bersedia menjawab pertanyaan saya secara tertulis.

Saya memperkirakan pinjaman ini diperlukan Iwan dan Yos, selaku pemimpin Manajemen Iwan Fals, untuk membiayai “jadwal-jadwal” pemakaian studio untuk latihan, rekaman, dan sebagainya. Kalau biaya sewa studio dihitung Rp 500 ribu sekali pakai, Iwan mengatakan pada saya, ia memakai 720 kali jadwal untuk membuat album yang dinamai Suara Hati. Artinya, Iwan membutuhkan sekitar Rp 360 juta untuk membiayai jadwal rekamannya. Manajemen Iwan Fals memakai pinjaman Musica itu untuk membangun sebuah studio. Iwan lantas menyewa studio itu kepada Manajemen Iwan Fals. Agak rumit memang. Iwan berhitung bisnis dengan istrinya sendiri.

Bagaimana membayar Musica? Iwan menerangkan bahwa royalti sebuah kaset Rp 2.000. Kalau Suara Hati laku, katakanlah 150 ribu, berarti ia mendapat Rp 300 juta. Royalti ini dipakai membayar piutang Musica. “Dari segi ekonomi saya rugi. Saya nggak dapat apa-apa dari Musica. Saya hanya mengharapkan dari royalti ... kaset itu seumur hidup ya,” katanya.

Iwan memanfaatkan teman-teman lama—Inisisri, Nanoe, Iwang Noorsaid, dan Maman Piul (pemain biola)—untuk mengerjakan Suara Hati. Kesulitan terbesar muncul dari komputer. Iwan menggunakan komputer mutakhir Macintosh G4 dalam studio barunya. “Saya nggak pakai operator karena nggak bisa bayar,” kata Iwan. “Saya juga mau belajar komputer.” Iwan tak memahami kerja Macintosh dengan rapi. Dampaknya, ada rekaman-rekaman yang hilang.

Khusus memilih pemain gitar prosesnya berbeda. Suatu hari Endi Aras mengajak Digo Zulkifli, gitaris asal Bandung yang juga penggemar Fals, berkunjung ke Leuwinanggung. Digo membantu Endi di Matamata Communications sesudah kenal saat pembentukan Oi. Hari itu Digo menemui Iwan di studio. Kebetulan Iwan lagi butuh orang mengisi gitar listrik. Di studio, menurut Digo, ia ditanya Iwan, “Digo kamu main elektrik?”

“Ya”

“Coba deh ini di album baru.”

“Saya minta waktu dan ruangnya saja,” kata Digo.

Iwan mempersilakan tapi mengingatkan Digo bahwa proposal Digo belum tentu diterima. Digo bersedia. Digo menduga Manajemen Iwan Fals masih mempertimbangkan gitaris kawakan Ian Antono, I Gede Dewa Bujana, dan Totok Tewel untuk mengisi gitar. Ketiga gitaris itu kenal Iwan. Ian Antono juga menata musik album Mata Dewa. Pilihan ternyata jatuh pada Digo Zulkifli.

Digo pun ikut rekaman bersama Inisisri, Nanoe, Noorsaid, dan Iwan. Ketika rekaman rusak, Iwan merasa sungkan minta kembali Nanoe, Noorsaid, dan Inisisri. “Nggak enak,” katanya. Digo dengan mudah dimintanya ikut rekaman ulang. Iwan pun membentuk band baru untuk mengisi sebagian rekaman yang hilang. Iwan mengajak Edi Edot (bass), Ayub Suparman (kibor), dan Danny Kurniawan (drum).

Belakangan ternyata ada rekaman lama yang ditemukan lagi. Dalam album Suara Hati, lagu Hadapi Saja muncul dua kali. Dua lagu, dua band, satu penyanyi, satu album. Kontribusi Noorsaid ada pada lima dari 12 lagu di sana.

Endi Aras melihat adanya dua band ini dengan kritis. “Iwan gampang meninggalkan kawan-kawannya. Grup yang sekarang ini dari penggemar dia semua. Itu dari Oi semua,” kata Endi, seakan-akan hendak mengatakan Fals sekarang dikelilingi orang yang relatif kurang setara kemampuannya dengan Iwan. Tak ada lagi Sawung Jabo, Inisisri, Ian Antono atau Jalu, Cok Rampal, Ari Ayunir, Heiri Buchaeri, Iwang Noorsaid. Nanoe bahkan meninggal ketika Suara Hati belum sempat diluncurkan.

Padahal tantangan Iwan makin besar. Naik ke puncak tangga sangat sulit tapi mempertahankannya lebih sulit lagi. Umur juga bertambah. Iwan juga harus mengikuti selera penggemar yang lebih muda. “Kalau Iwan mau panjang, orang-orangnya harus profesional. Posisi manajer di situ bisa lemah karena istri sendiri. Iwan nggak bisa di-manage karena egonya sangat besar. Yos bingung juga,” kata Endi.

Suara Hati diluncurkan awal tahun ini. Tempo menyebut album ini lagu-lagunya bagus tapi aransemennya lemah. Hai memuji setinggi langit. Sambutan publik cukup baik. Keberadaan Oi tampaknya membantu pemasaran kaset Fals. Anggota-anggota Oi adalah penggemar fanatik Iwan. Manajemen Iwan Fals menyambung peluncuran album itu dengan konser Satu Hati Satu Rasa sekitar 40 kota, antara Maret hingga Agustus lalu.

Suasana Indonesia berbeda sekali antara konser Satu Hati Satu Rasa dan Mata Dewa. Pada 1989 hambatan Mata Dewa terletak pada polisi. Konsernya dilarang di Palembang. Kini demokratisasi mulai terasa di berbagai institusi negara, termasuk polisi, sehingga tur Satu Hati Satu Rasa tahun ini berjalan lancar. Tak ada larangan walau Manajemen Iwan Fals sempat memundurkan beberapa jadwal konser karena ada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat Agustus lalu. Alasannya, tenaga polisi dikerahkan mengatasi massa politik.

Iwan Fals bukan saja tampil di kota besar macam Jakarta dan Surabaya, tapi juga kota menengah macam Cilegon, Sukabumi, Kuningan, Bandar Lampung, Magelang, Mataram, dan sebagainya. Dari laporan suratkabar, jumlah penonton berkisar 5.000 hingga 15.000 orang. Tak sebesar konser Kantata Takwa dengan 100 ribu penonton tapi harus diingat bahwa konser kali ini jumlah kotanya benar-benar banyak.

Bagaimana Iwan Fals bangkit dari kerusuhan jiwa dan menjadi saksi? 2

Mereka diskusi sebelum tidur. Keesokan harinya, Sofyan Ali, promotor Arena Indonesia Production, memberi kabar buruk. Polisi Palembang memberitahu ada radiogram dari markas polisi Jakarta. Mereka melarang Fals melanjutkan tur guna menghindari kekacauan. Padahal alat-alat sudah siap, panggung sudah siap. Rencana pertunjukan Palembang, Padang, Jambi, Medan, dan Banda Aceh dilarang. Iwan menangis. “Buat Iwan panggung adalah kehidupannya. Dia jadi hidup kalau di panggung,” kata Ma’mun.

Ironisnya, polisi melarang ketika belum ada penelitian tuntas mengapa keributan Jakarta terjadi. Di mana-mana kumpulan massa punya potensi ribut, dari massa sepak bola hingga musik. Ini tak berarti orang dilarang main bola atau nonton musik bukan? Bagaimana kebudayaan manusia akan maju kalau khawatir ribut? Bukankah polisi dibayar, bahkan negara diadakan, agar kebudayaan bisa maju, agar demokrasi bisa berkembang?

Lebih susah lagi. Di Indonesia, banyak orang malas berpikir, banyak wartawan malas melakukan reportase, dan lebih banyak lagi orang yang suka mengembangkan teori “pihak ketiga.” Di mana-mana ada teori ini. Buruh dilarang demonstrasi karena ditunggangi “pihak ketiga.” Mahasiswa bikin rusuh karena “pihak ketiga.” Saya mempelajari laporan berbagai suratkabar Indonesia dan melihat ada tiga teori “pihak ketiga” di balik pembredelan Mata Dewa.

“Pihak ketiga” pertama adalah “mafia Glodok” yang meminjam tangan polisi untuk mematahkan gaya distribusi kaset ala Sofyan Ali. “Mafia Glodok” adalah sebutan untuk industri rekaman yang berpusat di Glodok, Jakarta. Mereka kebanyakan dikelola pengusaha Indonesia etnik Tionghoa dan dianggap kurang menghargai seni, kurang menghargai musisi, tapi menguasai distribusi kaset. Spekulasi ini datang karena Iwan Fals pindah dari Musica ke tempat Sofyan Ali.

“Pihak ketiga” kedua adalah “industri rokok tertentu” yang meminjam tangan polisi guna menjegal pemasaran rokok Djarum—sponsor utama Mata Dewa. “Pihak ketiga” ketiga adalah pejabat-pejabat “tertentu” yang tak senang dengan kritik sosial Fals.

Tak ada bukti kuat untuk mendukung ketiga teori itu. Tapi cukup banyak alasan mengatakan ketiganya spekulatif. Iwan tak sepenuhnya pindah dari Musica karena ia juga mengerjakan lagu Kemesraan bersama artis Musica. “Saya merasa bersyukur punya partner Musica,” kata Iwan pada saya. Bisnis musik juga kecil sekali dibanding bisnis rokok. Raksasa industri rokok Djarum (Kudus), Sampoerna (Surabaya), Gudang Garam (Kediri), dan BAT (Jakarta) memang bersaing tapi juga bergabung dalam suatu kartel. Promosi lewat Fals memang penting tapi hanya sebagian kecil dari promosi Djarum. Keuntungan Djarum tahun lalu saja sebesar Rp 2,08 triliun atau hampir dua kali lipat omzet semua industri rekaman Indonesia. Siapa pejabat yang tak suka Fals? Setiawan Djody, rekanan bisnis Sofyan Ali dan salah satu pemegang saham PT Airo Swadaya Stupa, juga dekat dengan kalangan pejabat. Mengapa tak ada yang bicara dengan Djody?

Di Palembang tak ada verifikasi dan tawar-menawar. Kekuatan negara Orde Baru sangat kuat. Jangankan Iwan Fals. Protes dari hampir semua organisasi nirlaba di Indonesia, terhadap penggenangan desa-desa calon waduk Kedung Ombo bulan sebelumnya, juga diabaikan rezim Soeharto. Bank Dunia, yang mendanai Kedung Ombo, tak berbuat banyak melihat puluhan ribu petani mengungsi menyelamatkan harta dan nyawa. Iwan melawan. Dia jalan sendirian ke Padang, Jambi, dan lainnya, untuk memberitahu publik dia tak bisa memenuhi janji karena dilarang polisi. Ma’mun pulang ke Jakarta membawa pulang peralatan dengan delapan truk. “Pakaian saya bawa, kopernya saya bawa pulang. Dia cuma bawa pakaian satu.”

Di Jakarta, pelarangan itu juga memprihatinkan musisi lain. Sawung Jabo, musikus dari komunitas Sirkus Barock, menelepon Iwan untuk menyatakan simpati. Iwan pernah ikut pementasan Sirkus Barock pada 1986.

“Saya lupa persisnya. Suatu malam Iwan datang ke rumah saya di Pasar Minggu, yang notabene rumah tempat kami sering ngumpul. Iwan menawarkan untuk membuat album,” kata Jabo.

“Pada awalnya Iwan, kalau tidak salah mengusulkan nama Septiktank, tapi saya dan beberapa kawan menolaknya. Lalu kita mengusulkan nama yang kami pilih lewat lotere. Setelah diundi terpilihlah nama Swami, yang kebetulan nama itu usulan saya.” Ini plesetan dari kata “suami” karena mereka semua sudah beristeri.

Rata-rata awak Swami pernah terlibat Sirkus Barock. Baik pemain flute Naniel, pemain gitar bass Nanoe, pemain piano Tatas, apalagi drummer Inisisri yang banyak memberi warna musik Sirkus Barock. Hanya Jockie Suryoprayogo dan Totok Tewel agak baru di Sirkus Barock.

Mereka pun bekerja. Lagu paling spektakular berjudul Bento. Iwan sempat mengajak Ma’mun pergi ke studio tempat mixing dan minta komentar tentang Bento. Ma’mun berkomentar, “Wah, ini kayak virus. Ini cepet nyebarnya.”

“Iki piye Mas? (Ini bagaimana Mas?)” tanya Iwan.

“Apik. Virus kabeh (Bagus. Virus semua).”

Iwan dan kawan-kawan senang. Mereka makan nasi bungkus sembari mengobrol hingga pagi.

Bento diciptakan Iwan dan Naniel. Liriknya tentang seorang pengusaha serakah dan korup. Bisnisnya “menjagal apa saja” asal dia senang dan persetan orang susah. "Bento" sendiri artinya “goblok” dalam dialek Jawa Timuran. Ketika mengarang Bento, Iwan sempat memperhatikan seorang pengusaha, yang kaya dan kejam, punya rumah real estate. Karakter Bento dibuatnya dari pengusaha ini. “Tapi saya nggak perlu sebut (namanya). Saya nggak kenal pribadi, kenal jarak jauh,” katanya pada saya.
namaku Bento, rumah real estate
mobilku banyak, harta melimpah
orang memanggilku bos eksekutif
tokoh papan atas, atas segalanya, asyik

Sawung Jabo membantu aransemen lagu tersebut, “Saya memasukkan unsur tema lead accoustic,” katanya. Ketika beredar ke pasar, Swami memang ibarat virus. Lagu Bongkar juga jadi salah satu hit. Mula-mula media sempat bertanya-tanya apakah TVRI bersedia menyiarkan Swami. TVRI waktu itu satu-satunya stasiun televisi di Indonesia. TVRI sepenuhnya dikuasai rezim Soeharto. Ternyata tanpa ada keistimewaan, Bongkar muncul pada 13 Maret 1990. Ini mengejutkan banyak wartawan musik. Sekali lagi teori “pihak ketiga” tidak laku.
Mohon masukkan komentar di buku tamu....